Diluar segala teori parenting yang ada, penting untuk memulai pondasi semuanya adalah mengajarkan kepada anak untuk rilex dalam menghadapi hidup, sebab rilex akan membawa ketenangan. Menurut Ibnu Siena, kepanikan adalah separuh penyakit, dan ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah titik permulaan dari kesembuhan.
Nyatanya memang
banyak hal remeh menjadi besar karena kalut, banyak urusan kecil menjadi petaka
karena tidak tenang.
Kita bisa cek,
hal kecil di rumah, betapa kesalahan kecil saja bisa berujung kepada masalah
yang tidak seharusnya. Kita para lelaki tentu sering jadi bahan amukan hanya
karena menyimpan handuk basah di sofa, dan para ibu-ibu sering dimarahi suami
karena kelamaan dandan kalau mau keluar rumah.
Namun bagi orang
serius, hal receh dan terus-menerus dikerjakan para lelaki ini akan dimaknai
sebagai kondisi suami yang tidak 1 frekwensi lagi, yang kemudia berujung pada
pertengkaran. Padahal, jika emak emak belum mandi, ya tinggal pakai saja handuk
itu, atau jika mau silahkan jemurkan saja.
Para suami
melihat istrinya mudah murka, ini akan dipandang sebagai kondisi yang tidak
lazim sehingga si suami kemudian berkonsultasi dengan ahli ruqyah. Saran
spiritual ahli ruqyah ini ditaati betul oleh suami, mulai pakai air doa yang
ditiupkan ke air minum istri dengan merapalkan beberapa doa tertentu sampai saat
istri tidur, mukanya ditiup-tiup sambil berdoa, keesokan harinya istrinya tetap
mudah murka, sebab yang solusinya bukan menaikan dosis ruqyah, tapi menaikan
dosis rupiah.
Pada kejadian
lain, kita pun sering melihat orang yang secara usia sudah cukup sepuh, namun
belum juga rilex melihat kekurangan pasangan. Saat saya potong rambut, si
barber ngobrol setengah curhat, dia bilang “Mas,
ini saya sebenarnya kurang nyaman dengan mertua”.
Saya tanya, “tidak nyamannya bagaimana mas?” Saya tanya dengan santai.
Dia menjawab “saya sering melihat kalau mertua bertengkar
itu sadis betul, Ibu teriak teriak, dan bapak kalau marah pasti banting apa pun
yang ada di dekatnya”.
Saya tanya lagi “terus kamu rilex gak?”
Dia jawab “yang seringnya rilex sih”
Saya tidak
melanjutkan dialog, sebab dia sudah rilex, bagi saya ini sudah separuh solusi,
sisanya biarkan dia mendapatkan dari ragam insight
dalam hidupnya.
Mengapa rilex ini
perlu diajarkan sedari dini? dulu kita menganggap bahwa seiring dengan
penambahan usia, orang akan bijak dengan sendirinya, namun nyatanya tidak
demikian, seiring penambahan usia, semakin kekuatan fisiknya menurun, seiring
pula dengan penuhnya memori-memori yang belum release dan efeknya, sampai tua pun belum rilex dalam menghadapi
kehidupan.
Hidup rilex ini
benar benar beda dengan jualan. Jualan itu hari pertama pasti gorgi dan
bingung, satu pekan kemudian akan semakin luwes. Begitu pula dengan pekerjaan
di kantor, mengajar, pasti awalnya bingung dan tidak tenang, seiring berjalan
waktu akan rilex. Namun nyatannya sudah tua yang harusnya sudah terlatih menapaki
kehidupan, tidak pula rilex, hidupnya sering diwarnai ketegangan, perbedaan
pendapat selalu berujung pada teriakan.
Di sini rilex
menjadi penting diajarkan sedari dini karena dengan rilex kita bisa menemukan
solusi-solusi jernih, ini penting untuk dipakai saat anak-anak beranjak dewasa
dan sudah hadir di “panggungnya” masing masing , sehingga kita bisa mendapati
anak anak kita yang masih relative muda tapi memiliki tingkat ketenangan yang
baik dalam mengelola hidupnya. Rilex ini tirakat level tinggi, sebab anda tidak
bisa rilex bila tumpukan memori memori bernuasa emosi negative masih tersimpan
baik.
Pertanyaannya 1
saja, bagaimana mengajarkan anak
untuk rilex, sementara orangtuanya belum memperlihatan sikap rilex dalam
pengasuhan?.
Bagaimana dengan orang yg bersikap cuek?
BalasHapusjika cuek dalam artian tidak peduli, itu tidak baik... rilex di sini adalah tentang dia peduli tapi tidak hanyut dalam emosi
HapusAajiib
BalasHapusAlhamdulillah
Hapus